Sejarah Munculnya Sosiologi

Mengapa muncul suatu ilmu yang dinamakan sosiologi? Pemikiran sosiologis berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal-hal yang selama ini dianggap sebagai krisis sosial, maka mulailah orang berpikir tentang sosiologis. Pemikiran terhadap konsep masyarakat yang lambat laun melahirkan ilmu yang dinamakan sosiologi. Adapun beberapa faktor pendorongnya adalah karena semakin meningkatnya perhatian terhadap masyarakat, serta adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat Eropa.

 Istilah sosiologi muncul pertama kali pada tahun 1839 pada keterangan sebuah paragraf dalam pelajaran ke-47 Cours de la Philosophie (Kuliah Filsafat) karya Auguste Comte. Tetapi sebelumnya Comte sempat menyebut ilmu pengetahuan ini dengan sebutan fisika sosial tetapi karena istilah ini sudah dipakai oleh Adolphe Quetelet dalam studi ilmu barunya yaitu tentang statistik kependudukan maka dengan berat hati Comte harus melepaskan nama fisika sosial dan merumuskan istilah baru yaitu sosiologi yang berasal dari bahasa Yunani yaitusocius (masyarakat) dan logos (ilmu). Dengan harapan bahwa tujuan sosiologi adalah untuk menemukan hukum-hukum masyarakat dan menerapkan pengetahuan itu demi kepentingan pemerintahan kota yang baik.
Sosiologi lahir di tempat yang berbeda yaitu Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab yang menunjukkan adanya beberapa kemajuan intelektual yang secara radikal bertentangan. Mazhab Prancis ditandai dengan personalitas Emile Durkheim melalui pendekatan yang objektif dengan menggunakan model ilmu pengetahuan alam. Mazhab Jerman, membedakan antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan kejiwaan dalam penjelasan, serta cakupannya. Sedangkan di Amerika terkenal dengan Mazhab Chicago bertujuan untuk mengintervensi dan membahas permasalahan yang konkrit secara empiris dengan membangun laboratorium, melakukan penelitian sampai mempublikasikan buku-buku dan majalah.

Dari tempat-tempat lahirnya Sosiologi tersebut memunculkan banyak tokoh perintis sosiologi dan mulai menggeluti ilmu pengetahuan ini dan melakukan banyak penelitian tentang sebuah masyarakat dan permasalahan sosialnya. Mereka mencoba mencari sebuah pemikiran yang murni sosiologi karena selama kurun waktu tersebut sosiologi masih banyak terpengaruh dari ilmu filsafat dan psikologi yang telah terlebih dahulu ada.

Tokoh atau Perintis Sosiologi
 Setiap ilmu pengetahuan mempunyai tokoh tertentu yang dianggap sebagai perintis. Ilmu pengetahuan alam menpunyai Sir Izaac Newton; psikologi mempunyai Freud, Jung. Sosiologi pun mengenal sejumlah orang yang dianggap sebagai perintisnya (klasik) dan juga tokoh sosiologi setelahnya.
1.      Auguste Comte (1798 – 1857)
Tokoh sosiologi ini mendapat julukan sebagai bapak Sosiologi. Salah satu sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi adalah tentang hukum kemajuan kebudayaan masyarakat yang dibagi menjadi tiga zaman yaitu: pertama, zaman teologis adalah zaman di mana masyarakatnya mempunyai kepercayaan magis, percaya pada roh, jimat serta agama, dunia bergerak menuju alam baka, menuju kepemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia di mana orang mati mengatur orang hidup. Kedua, zaman metafisika yaitu masa masyarakat di mana pemikiran manusia masih terbelenggu oleh konsep filosofis yang abstrak dan universal. Ketiga, zaman positivis yaitu masa di mana segala penjelasan gejala sosial maupun alam dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah (hukum-hukum ilmiah).
Karena memperkenalkan metode positivis maka Comte dianggap sebagai perintis positivisme. Ciri-ciri metode positivis adalah objek yang dikaji berupa fakta, bermanfaat, dan mengarah pada kepastian serta kecermatan. Sumbangan pemikiran yang juga penting adalah pemikiran tentang agama baru yaitu agama humanitas yang mendasarkan pada kemanusiaan. Menurut Comte, intelektualitas yang dibangun manusia harus berdasarkan pada sebuah moralitas. Bagi Comte, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemajuan sosial tergantung pada perkembangan perasaan altruistik serta pelaksanaan tugas meningkatkan kemanusiaan sehingga masyarakat yang tertib, maju, dan modern dapat terwujud. Tetapi agama humanitas ini belum sempat dikhotbahkan oleh Comte sebagai agama baru bagi masyarakat dunia karena pada tahun 1957, Comte meninggal dunia.

2.      Karl Marx (1818 – 1883)
Lahir di Jerman pada tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniawan Yahudi. Pada tahun 1814 mengakhiri studinya di Universitas Berlin. Karena pergaulannya dengan orang-orang yang dianggap radikal terpaksa mengurungkan niat untuk menjadi pengajar di Universitas dan menerjunkan diri ke kancah politik. Sumbangan utama Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas sosial yang tertuang dalam tulisannya yang berjudulThe Communist Manifest yang ditulis bersama Friedrich Engels.
Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas borjuis (majikan) terdiri dari orang-orang yang menguasai alat produksi dan kelas proletar (buruh) yang tidak memiliki alat produksi dan modal sehingga menjadi kelas yang dieksploitasi oleh kelas borjuis (majikan). Menurut Marx, suatu saat kelas proletar akan menyadari kepentingan bersama dengan melakukan pemberontakan dan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Meskipun ramalan Marx tidak pernah terwujud tetapi pemikiran tentang stratifikasi dan konflik sosial tetap berpengaruh terhadap pemikiran perkembangan sosiologi khususnya terkait dengan kapitalisme.

3.      Emile Durkheim (1858 – 1917)
Merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya utamanya antara lain Rules of The Sociological Method, The Division of Labour in Society, Suicide, Moral Education, dan The Elementary Forms of The Religious Life. Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas dengan membedakan dua tipe utama solidaritas yaitu solidaritas mekanis yang merupakan tipe solidaritas yang didasarkan pada persamaan dan biasanya ditemui pada masyarakat sederhana dan solidaritas organis yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan antarindividu atau kelompok lain, masyarakat tidak lagi memenuhi semua kebutuhannya sendiri.
Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat (munculnya diferensiasi, spesialisasi) semakin berkembang sehingga solidaritas mekanis berubah menjadi solidaritas organis. Pada masyarakat dengan solidaritas organis masing-masing anggota masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan orang atau kelompok lain. Solidaritas organis merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling bergantung seperti bagian-bagian suatu organisme biologis. Berbeda dengan solidaritas mekanis yang didasarkan pada hati nurani kolektif maka solidaritas organis didasarkan pada akal dan hukum.
Dalam pengembangan selanjutnya, Durkheim menggunakan lima metode untuk mempelajari sosiologi, yaitu:
a.       Sosiologi harus bersifat ilmiah, di mana fenomena-fenomena sosial harus dipelajari secara objektif dan menunjukkan sifat kausalitasnya.
b.      Sosiologi harus memperlihatkan karakteristik sendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu lain.
c.       Menjelaskan kenormalan patologi.
d.      Menjelaskan masalah sosial secara ‘sosial’ pula.
e.       Mempergunakan metode komparatif secara sistematis. Metode tersebut telah diterapkan dalam sebuah penelitian tentang gejala bunuh diri yang melanda masyarakat Eropa saat itu dengan judul “Suicide”.

4.      Max Weber (1864 – 1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tahun 1864. Menyelesaikan studi di bidang hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, teologi dan mengajar disiplin ilmu-ilmu tersebut di berbagai universitas di Jerman. Serta terus menerus menyebarluaskan terbentuknya ilmu sosiologi yang saat itu masih berusia muda. Karya penting dari Weber berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism yang berisi hubungan antara Etika Protestan dalam hal ini Sekte Kalvinisme dengan munculnya perkembangan kapitalisme.
Menurut Weber, ajaran Kalvinisme mengharuskan umatnya untuk bekerja keras dengan harapan dapat menuntun mereka ke surga dengan syarat bahwa keuntungan dari hasil kerja keras tidak boleh untuk berfoya-foya atau bentuk konsumsi lainnya. Hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan menjadikan para penganut agama ini semakin makmur karena keuntungan yang dihasilkan ditanamkan kembali menjadi modal. Dari sinilah menurut Weber kapitalisme di Eropa berkembang pesat.

Sumber: Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SHARE

IPS Famous

ANJAYYYYYYY!!.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar